Penguasa Barat Menyerang Hukum Pernikahan Islam

Oleh:Dr. Nazreen Nawaz

Rezim Barat secara beruntun mengecam proposal RUU (Rancangan UU yang sedang dibahas oleh parlemen Afghanistan mengenai hak wanita dalam perkawinan. Pemerintahan Boneka dunia Islam selama ini tercatat melaksanakan hukum yang tidak jelas, sistem Islam yang parsial, dan kegagalan untuk menerapkan Islam sebagai solusi untuk mencegah masalah-masalah yang akan muncul.
Detil tentang hukum yang sedang dibahas memang belum bisa diketahui secara pasti, apalagi kalau berasal dari sumber media Barat.


Dilaporkan oleh media Barat bahwa RUU tersebut menyebutkan bahwa seorang isteri wajib melayani kebutuhan seksual suaminya dan dia tidak boleh meninggalkan rumah tanpa ijin suaminya. Namun apapun detil yang tercantum di RUU itu, ia menjadi alasan Barat untuk menyerang sistem sosial Islam.

Hukum perkawinan Islam menegaskan pentingnya institusi perkawinan yang kuat dan terbangunnya unit keluarga yang baik. Lebih jauh lagi, Islam telah memberikan status yang jelas bagi wanita dalam masyarakat, dengan mewajibkan para suami untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan isterinya ketika ia harus meninggalkan rumah.

Mengomentari RUU tersebut, Presiden Obama berkata,” Saya pikir RUU ini mengecewakan.” dan Gordon Brown berkata,” RUU ini akan membawa Afghanistan ke masa lalunya ketimbang menyongsong era demokratis yang menyamakan perlakuan terhadap pria dan wanita.” Penggunaan istilah-istilah seperti ‘pembolehan pemerkosaan dalam pernikahan’, ‘perbudakan seksual’ dan ‘pemenjaraan wanita’ mulai ditebar yang turut memanaskan histeria seputar RUU ini.

Ketika menyerang hukum Islam, para pemimpin Rezim Barat juga seakan melupakan tingginya tingkat pelecehan seksual, kekerasan, dan pemerkosaan terhadap wanita hingga mencapai angka yang sangat ‘mengecewakan’, padahal terjadi di dalam negeri mereka sendiri lengkap dengan perangkat liberalisme sekular. Di Inggris. 1 dari 4 wanita menghadapi kekerasan rumah tangga dan 1 dari 20 telah diperkosa. Di Amerika, seorang wanita diperkosa setiap dua setengah menit.

Lebih jauh lagi, rezim penguasa Barat secara mudah menutup mata terhadap kesengsaraan yang dihadapi para wanita Afghanistan dengan dikenalkannya sistem demokrasi liberal di negerinya. 8 tahun setelah invasi terhadap Afghanistan, jutaan wanita Afghanistan hidup dalam kemiskinan, bertambahnya kekerasan, dan kehidupan yang menyengsarakan. Pelacuran pun berjamuran sebagai respon terhadap kemiskinan demi mencari sepotong roti untuk meneruskan hidup.

Perkosaan dan penculikan pun mencapai proporsi epidemik yang mengkhawatirkan. Lebih dari 70% warga Afghanistan menderita kekurangan gizi. Sementara itu 80% wanita Afghanistan masih tuna aksara. Anak-anak perempuan pun dikawinkan untuk menyelesaikan hutang dan konflik antar suku. Negeri ini juga menjadi negara kedua di dunia dimana tingkat kematian ibu setelah melahirkan terjadi paling banyak di propinsi Badakshan di wilayah Timur, suatu angka tertinggi yang tercatat oleh sejarah. Afghanistan juga mengalami angka kematian balita tertinggi di dunia dimana 1 dari 5 anak-anak meninggal sebelum usia 5 tahun. Afghanistan juga memiliki jumlah janda terbesar di dunia akibat perang, yaitu sekitar 1,5 juta dari total 26,6 juta penduduk. Bunuh diri juga semakin marak karena para wanita mengalami stress yang luar biasa akibat kondisi kehidupan yang semakin sulit dan kemiskinan dimana-mana.

Mengenai kontroversi seputar RUU, Dr. Nazreen Nawaz, sebagai wakil wanita Representasi Media Hizbut Tahrir Inggris mengatakan,” Pemerintah Barat sedang memimpin suatu masyarakat yang dilanda kebobrokan sosial dan perpecahan keluarga dalam negeri mereka sendiri, yang terlihat dengan tingginya tingkat perceraian, perzinahan, kehamilan remaja, dan kerusakan rumah tangga. Budaya kebebasan dari nilai liberal telah memupuk sikap hedonistik yang memuja kepentingan birahi dan nafsu individu, ketimbang kehidupan yang bertanggungjawab. Lebih jauh lagi, retorika ‘Persamaan Jender’ dalam isu hak dan kewajiban pria dan wanita ternyata tidak mampu membendung gelombang penderitaan yang dialami oleh para wanita, baik yang tinggal di masyarakat sekuler dan masyarakat di dunia muslim akibat budaya tradisional.”

“Tentang tuduhan bahwa Islam mengijinkan ‘perbudakan seksual terhadap wanita’ dalam pernikahan, merupakan komentar para pemimpin Barat yang sangat ironis, karena di negara mereka sendiri telah melegalkan ‘perbudakan seksual’ yang bertopeng ‘kebebasan’ dengan membolehkan pornografi, pelacuran, dan eksploitasi tubuh wanita sebagai komiditi industri pemasaran barang dan jasa. Dengan demikian, Pemerintah Barat sebenarnya sudah kehilangan wibawa moral untuk mengkritik hukum islam tentang perkawinan. Bahkan mereka sudah tidak lagi berhak untuk menceramahi umat Islam tentang ‘hak-hak wanita.”

“Wanita Afghanistan dan muslimah di seluruh dunia Islam sangat sadar akan bencana yang berasal dari diterapkannya demokrasi liberal di negeri-negeri mereka. Mereka melihat bahwa sistem demokrasi pun tidak menjamin keamanan, dan kebutuhan dasar, maupun terhapusnya budaya tradisional yang mengungkung mereka. Mereka menyadari bahwa memasukkan retorika ‘persamaan jender’ dalam konstitusi mereka, tampilnya wakil wanita di parlemen, ternyata tidak berujung kepada perubahan nasib keseharian para wanita. Mereka mengakui bahwa hanya pelaksanaan Islam secara komprehensif sajalah –bukan sebagian-sebagian– yang akan menjamin hak-hak mereka sebagai wanita. Maka bisa dipahami kenapa jutaan muslimah diseluruh dunia sangat berharap akan kembalinya sistem Khilafah sebagai sistem alternatif terhadap status quo yang kini menghantui kehidupan mereka sekarang. Sistem khilafah inilah yang akan meninggikan harkat dan martabat wanita di masyarakat, menghapus budaya penindasan wanita, dan menjamin kesejahteraan dan keselamatan dari ketakutan dan kekerasan.

Sumber:Shabab/tkodaily.net

Tiada ulasan:

Catat Ulasan