"Ya Tuhanku ampunilah aku, rahmatilah aku,
perbaikilah aku, angkatlah darjatku, berilah aku rezeki, pimpinlah aku, afiatkanlah aku dan maafkanlah aku."

Selesai Saja Solat Pertama, Patricia Zahra Pal Menangis

Patricia Zahra Pal berusia 15 tahun saat keluarganya berhijrah dari Hungary ke Austria. Disana, keluarganya menetap di Villach.

Bagi Patricia, tidak mudah menyesuaikan diri dengan persekitaran baru. Ia harus menguasai bahasa Jerman, bahasa yang banyak dipakai warga Austria.
"Jujur, aku rindu dengan tempat tinggalku sebelumnya. Ramai teman, yang membuatku mudah menghilangkan mood tidak enak," kata dia seperti dilapor onislam.net, Selasa (12/11).

Suatu hari, perempuan asal Chenchya mendatangi Patricia. Senyum ramah terlepas dari perempuan berhijab itu. Ini adalah pertemuan pertama Patricia dengan seorang Muslim.

Di kampung halamannya, Patricia tidak pernah bertemu seorang Muslim. Ini kerana ia sibuk dengan rutin. Namun, Austria begitu berbeza, di sini banyak komuniti agama berbeza, seperti Yahudi, Buddha dan Islam. "Maklumat soal Islam hanya didapatnya melalui media. Jelas, pemberitaannya begitu negatif. Tapi saya acuhkan itu," kata dia.

Seiring pertemannya dengan perempuan Chechnya, Patricia semakin paham kalau seorang Muslim itu sama seperti umat agama lain. Mereka tidak seburuk yang digambarkan media massa. "Malah mereka membantunya menguasai bahasa Jerman. Mereka memberi perlindungan dari teman-teman yang meledeku," kata dia.

Yang menarik perhatian Patricia ketika bersosial dengan kawannya yang Muslim, adalah bagaimana mereka berinteraksi satu dengan yang lain. "Mereka punya tata cara bergaul antara lelaki dan perempuan, seperti ada batasan. Tentu ini ada maksudnya. Tapi saya kagum bagaimana lelaki Muslim melindungi rakan mereka yang perempuan dengan cara yang santun," kata dia.

Minat Patricia semakin menjadi ketika ia diajak makan tengah hari bersama di rumah salah seorang temannya yang Muslim. Di sana ia menemukan sebuah keluarga besar. Mereka solat bersama-sama. "Mereka begitu bahagia, bersatu dan mereka seperti bersyukur dengan apa yang dimiliki," kata dia.

Patricia lalu membandingkan situasi itu dengan kebanyakan keluarga di Hungary. Di bekas negeri komunis ini, hanya ada dua anak setiap keluarga. Kebanyakan orang tua sibuk bekerja, sehingga anak diserahkan kepada pengasuh. Tahap stres keluarga di Hungaria juga tinggi. "Beda dengan mereka, keluarga Muslim," katanya
.
Sejak makan tengah hari bersama itu, Patricia mula berfikir untuk lebih mendalami ajaran Islam. Namun, satu hal yang difikirkannya, bagaimana reaksi keluarga dan persekitarannya. Perasaan "galau" ini membuatnya tertekan. Ia pun kembali mengambil alkohol di kelab malam. "Aku kenakan pakaian seksi, yang membuat banyak lelaki meliriku. Lalu, aku mabuk setiap minggu. Wangku habis untuk itu," kata dia.

Pada titik klimaks, Patricia merasa jenuh dengan itu. Ia ingin hidupnya lebih bermakna. Kembali ia teringat dengan ajaran Islam. Ia cari lagi maklumat tentang Islam, hingga akhirnya ia mencari satu keluarga yang begitu hangat, dan membantunya mendalami Islam. "Aku merasa inilah saatnya. Alhamdulillah, aku menjadi seorang Muslim. Aku pun melaksanakan solat pertamaku, dan aku menangis sejadi-jadinya," kenang dia.

Usai bersyahadat, Patricia memberitahu keluarganya soal keputusan menjadi Muslim. Keluarganya marah besar, ibunya menangis sepanjang hari. Adiknya tak lagi mau berbicara dengannya. Mereka pun tak mau memandang Patricia yang telah berhijab. "Aku menangis, dan mengadu kepada Allah. Alhamdulillah, Dia mendengar keluhanku, ia mendapatkan pekerjaan yakni mengajar disebuah sekolah kerajaan," kata dia.

Sejalan seiring waktu, keluarganya tak lagi menjauhinya. Mereka menerima Patricia apa adanya. Bahkan, ibunya tak lagi memasakan daging babi. Kebahagiaan Patricia kian lengkap ketika ia mencari pendampingnya. "Alhamdulillah, aku panjatkan rasa syukur kepada Allah atas hidayah dan rahmat-Nya," kata dia.

Tiada ulasan: