kamal_hasan
Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kesusahan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki bertubuh tegap dengan pakaian lusuh.
Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikitpun, dengan patuh lelaki berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju.
Semasa sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat lalu bertanya pada orang itu, “Siapa dia?, mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”.
Ia menjawab, “Tidak tahukah Tuan , kalau orang itu adalah gabernur kami?”. Dengan rasa cemas lalu membongkok-bongkok ia memohon maaf pada ‘ kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman al Farisi .
“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu. Tuan adalah amir negeri Madain, “ ucap si pedagang. “ Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.”
Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman meletak barang bawaannya di kedai itu, ia kemudian berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan jawatanku. Aku sudah menerima dengan rela perintahmu untuk mengangkat barang ini kemari. Aku wajib melaksanakannya hingga selesai. Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?”
Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gabernur?.
Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, malah merendah di depan rakyatnya. Kerana pada hakikatnya, ketinggian martabat pemimpin justeru datang dari rakyat dan bawahannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan