Syiar Islam kini mulai tumbuh subur di Serbia, negara di semenanjung
Balkan yang semula berhaluan komunis. Salah satu indikatornya, makin banyak Muslimah yang tak takut lagi menunjukkan identitinya dengan mengenakan jilbab.
Awal bulan ini, tujuh perempuan muda dan satu wanita dewasa memutuskan untuk membiasakan pemakaian jilbab hari itu juga setelah menghadiri debat yang berjudul "Bagaimana Muslimah Berbusana" yang diselenggarakan oleh Universiti Internasional Novi Pazar. Mufti tempatan, Muamer Zukorlic, tampil sebagai pembicara.
Keputusan mereka serta-merta didukung hadirin. Mereka bertepuk tangan setelah kelapan wanita itu keluar dengan penampilan baru mereka, berbalut busana Muslimah. Secara keseluruhan, hanya sejumlah kecil wanita Muslim di Serbia yang mengenakan jilbab. Namun meningkatnya perempuan berjilbab baru-baru ini telah membuat polemik: apakah perlu penggunaan jibab dilarang atau tidak.
Corovic Aida, seorang aktivis hak asasi manusia di Novi Pazar mengatakan pemakaian jilbab lebih soal fashion daripada iman. Namun jilbab juga merupakan respons terhadap tekanan dari keluarga dan lingkungan. "Kebanyakan perempuan muda di bawah 18 tahun memakai jilbab, dan sebagian besar bahkan tidak menyedari ertinya," katanya.
Muhamed Jusufspahic, wakil Reis-ul-ulama dari Komuniti Islam Serbia mengatakan negara tak perlu mengatur pakaian warganya. Sebagaimana kaum Muslimah, katanya, pilihan mengenakan jilbab semestinya diserahkan pada mereka.
Selama era Komunis di Yugoslavia, sebuah undang-undang pada tahun 1950 melarang perempuan mengenakan pakaian yang menutupi wajah. Peraturan itu akhirnya dicabut. Saat ini, tidak ada hambatan seperti itu untuk wanita di Serbia. Mereka bahkan menjadikan gambar untuk dokumen identiti dalam pakaian Muslimah.
Dalam perang Balkan, serbia menempatkan kaum Muslim sebagai musuh utama. Genosida warga Muslim dilancarkan dan ribuan Muslim syahid dibantai.
Parlemen Serbia tahun lalu menyampaikan permintaan maaf atas peristiwa pembantaian ribuan warga Muslim Bosnia pada Perang Balkan pada 1995. Namun mereka menolak aksi kekerasan saat itu disebut sebagai sebuah peristiwa genosida./DPPWM
Awal bulan ini, tujuh perempuan muda dan satu wanita dewasa memutuskan untuk membiasakan pemakaian jilbab hari itu juga setelah menghadiri debat yang berjudul "Bagaimana Muslimah Berbusana" yang diselenggarakan oleh Universiti Internasional Novi Pazar. Mufti tempatan, Muamer Zukorlic, tampil sebagai pembicara.
Keputusan mereka serta-merta didukung hadirin. Mereka bertepuk tangan setelah kelapan wanita itu keluar dengan penampilan baru mereka, berbalut busana Muslimah. Secara keseluruhan, hanya sejumlah kecil wanita Muslim di Serbia yang mengenakan jilbab. Namun meningkatnya perempuan berjilbab baru-baru ini telah membuat polemik: apakah perlu penggunaan jibab dilarang atau tidak.
Corovic Aida, seorang aktivis hak asasi manusia di Novi Pazar mengatakan pemakaian jilbab lebih soal fashion daripada iman. Namun jilbab juga merupakan respons terhadap tekanan dari keluarga dan lingkungan. "Kebanyakan perempuan muda di bawah 18 tahun memakai jilbab, dan sebagian besar bahkan tidak menyedari ertinya," katanya.
Muhamed Jusufspahic, wakil Reis-ul-ulama dari Komuniti Islam Serbia mengatakan negara tak perlu mengatur pakaian warganya. Sebagaimana kaum Muslimah, katanya, pilihan mengenakan jilbab semestinya diserahkan pada mereka.
Selama era Komunis di Yugoslavia, sebuah undang-undang pada tahun 1950 melarang perempuan mengenakan pakaian yang menutupi wajah. Peraturan itu akhirnya dicabut. Saat ini, tidak ada hambatan seperti itu untuk wanita di Serbia. Mereka bahkan menjadikan gambar untuk dokumen identiti dalam pakaian Muslimah.
Dalam perang Balkan, serbia menempatkan kaum Muslim sebagai musuh utama. Genosida warga Muslim dilancarkan dan ribuan Muslim syahid dibantai.
Parlemen Serbia tahun lalu menyampaikan permintaan maaf atas peristiwa pembantaian ribuan warga Muslim Bosnia pada Perang Balkan pada 1995. Namun mereka menolak aksi kekerasan saat itu disebut sebagai sebuah peristiwa genosida./DPPWM
Tiada ulasan:
Catat Ulasan