"Ya Tuhanku ampunilah aku, rahmatilah aku,
perbaikilah aku, angkatlah darjatku, berilah aku rezeki, pimpinlah aku, afiatkanlah aku dan maafkanlah aku."

Isu Militan: Malaysia Belajar Dari Indonesia?

fezuljengka
Dicelah-celah kesibukan sebagai seorang mahasiswa di perantauan, saya masih berkesempatan mengikuti perkembangan-perkembangan terkini di tanah air. Antara hal yang saya ikuti adalah isu ugutan terhadap mahasiswa KUIS daripada mendapatkan pinjaman PTPTN gara-gara seorang mahasiswanya terlibat dengan pilihanraya kecil Hulu Selangor, isu tanah KTM di Tanjong Pagar yang diserah dengan begitu mudah kepada Singapura,

isu judi bola yang ditukar hukumnya menjadi halal oleh pemerintah BN dan cerita menarik dari Stadium Sultan Muhammad IV, Kota Bharu mengenai ‘pengajaran’ bagi orang-orang yang degil dan tidak kenal tuan rumah.

Dari beberapa isu terkini yang berlaku di bumi One Malaysia tersebut, salah satu yang saya berikan tumpuan secara serius adalah pemberitaan mengenai kemunculan semula ‘gerakan militant’ Jama’ah Islamiah (JI) dengan tertangkapnya 10 individu warga asing yang didakwa sebagai anggota kumpulan berkenaan beberapa hari kelmarin. Perkembangan isu militant atau teroris ini saya amati dengan baik dari harakahdaily, malaysiakini dan beritaharian online.

Hal ini sangat menarik untuk dibicarakan kerana saya berada di bumi Indonesia yang tidak sunyi-sunyi dari khabar aksi teroris, bahaya JI, kejayaan pihak keselamatan membanteras kelompok teroris, pengganas merancang pembunuhan Presiden dan sebagainya. Mungkin di Malaysia, rakyat hanya berpeluang mendengar isu teroris hanya 1 kali dalam tempoh 2-3 tahun, namun uniknya di Indonesia ini, kemunculan gerakan teroris didedahkan oleh pihak keselamatan sampai 2-3 kali bahkan lebih dalam setahun. Bahayanya pergerakan ini diwar-warkan dari semasa ke semasa oleh media sehingga ianya benar-benar berjaya menimbulkan keresahan pada diri setiap warga.

Nama Dr.Azhari (ditembak pada 9 Nov 2005), Imam Samudra, Amrozi dan Ali Ghufron@Mukhlas (ditembak pada 9 Nov 2008), Noordin M.Top (ditembak pada 17 Sept 2009) serta beberapa nama individu yang masih hidup seperti Hambali, Us.Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain digambarkan terus menerus sebagai ‘tulang belakang’ atau otak kegiatan terorisme di Indonesia. Tidak sedikit warga yang menelan pencitraan buruk dan menakutkan tentang mereka ini. Mungkin Indonesia boleh diberikan anugerah sebagai Negara yang sangat bertungkus lumus memerangi keganasan. Tetapi…..isu terorisme yang diberitakan oleh media tidak selamanya diimani oleh warga Indonesia yang bijak pandai. Kejanggalan demi kejanggalan dalam operasi membantera teroris yang diketuai oleh pasukan anti terror Indonesia iaitu Detasemen Khusus 88 (DENSUS 88) Anti Terorisme (unit khusus di bawah Polisi Republik Indonesia) akhirnya terbuka satu demi satu. Saya tidak berhasrat untuk membicarakan kejanggalan-kejanggalan ini secara mendalam. Ia memerlukan tajuk yang khusus. Cukup saya sampaikan secara umum.

Beberapa bulan terakhir ini, pelbagai organisasi Islam di Indonesia mula bangkit mengadakan demonstrasi dan menghantar memorandum kepada lembaga-lembaga hak asasi manusia menuntut agar pasukan DENSUS 88 ini segera dibubarkan. Antara yang terkehadapan adalah Jama’ah Ansarut Tauhid (JAT) pimpinan Us.Abu Bakar Ba’asyir yang sejak sekian lama dituduh sebagai otak utama dalam merancang kegiatan terorisme, namun sampai saat ini tidak dapat dibuktikan. Tanggal 26 Mei lalu, sebuah lembaga para peguam Muslim yang dikenal sebagai Team Pengacara Muslim (TPM) mendatangi pejabat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta dengan membawa sebuah laporan berisi 14 kejanggalan terhadap misi menangani teroris.

Antaranya termasuklah mempersoalkan mengenai tindakan gila pasukan DENSUS 88 yang sejak akhir-akhir ini (dalam tahun 2010) yang sering melakukan aksi penembakan terhadap individu yang dituduh terlibat dengan teroris. Padahal, jika benar mereka ingin menumpaskan gerakan ini sampai ke akarnya, boleh sahaja mereka menangkap individu tersebut hidup-hidup dengan cara menembak dibahagian yang boleh mencederakan sahaja, namun nyatanya tidak sebegitu. Tahun ini sahaja, lebih 10 orang sudah menjadi mangsa peluru pasukan anti terror ini. Ironisnya, sampai hari ini terdedah bahawa ada individu-individu yang ditembak tersebut belum dapat dipastikan keterkaitannya dengan kegiatan teroris. Namun, nyawa mereka sudah melayang tanpa sempat berbicara untuk mempertahankan diri, bahkan media pula galak melabel mereka sebagai teroris.

Baca selanjutnya di sini

Tiada ulasan: